Senin, 21 Oktober 2013

Hukum Perdata Internasional BAB III,IV,V



Tugas Merangkum
Hukum Perdata Internasional


umy_BARU.jpg



Oleh  :
Hendri Tovan                    (20110610202)






Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2013/2014
BAB III
PRINSIP KEWARGANEGARAAN DAN PRINSIP  DOMISILI
Stelsel-stelsel HPI dari pada negara-negara di dunia  ini  tidak sepaham tentang perinsip manakah antara kedua perinsip ini adalah yang terbaik untuk di pergunakan bagi penentuan status Persaonil seseorang. Ada negara-negara yang memegang teguh kepada perinsip kewarganegaraan.
43. Negara-negara dengan perinsip Nasionalitas
Negara pertama adalah perancis dan negara jajahan perancis. Terdapat dalam Code Civil. (pasal 3 ayat 3), di negara Pahlawan menggunakan perinsip Nasionalitas seperti Italia dan jajahan-jajahanya. Berdasarkan berlakunya Code Civil dari tahun 1865, dalam peraturan-peraturan untuk diberlakukan Code Civil (di posisi zioni Preliminari del codice civile, pasal6).telah dicantumkan di negeri belanda dalam Undang-undang tanggal 15 mei 1829 ini telah dicantumkan berdasarkan asas kokordansi bahwa hindia belanda pun diterima ketentuan yang serupa dalam “ Algemeene bepalingen van wetgeving”(30 april 1847, S no.23, diubah S.1915 no299 jo 625) pasal 16 yang hingga kini masih berlaku untuk republik indonesia. Demikian jajahan belanda lainya. Di Rumania terdapat ketentuan serupa dalam Code Civil (pasal2) demikian di bulgaria dan finlandia.Prinsip Kewarganegaraan ini telah menjadi dasar pula dalam berbagai perjanjian-perjanjian Internasional di bidang HPI. Dapat disebut-sebut disini, konvensi-konvensi den haag tahun 1902dan 1905, persetujuan di lima dari tahun 1878.
44. Negara-negara dengan perinsip Domisili.
Dalam  kelompok ini dapat disebut semua negara-negara inggris yang menganut “common law”    . juga scotlandia,afsel dan qubec( pasal 6 C.C) dapat disebut disini denmark.negara-negara Amerika latin.
45. Tidak ada prinsip yang a priori lebih baik.
Perbedaan antara kedua prinsip ini pada pokoknya dapat dikembalikan pada perbedaan diletakanya titik berat atas segipersonalitas atau territorialitas dari pada hukum. Seperti telah kita saksikan juga disini hubungan kausal antara sistim-sistim yang menjadi realitas dan kenyataan-mayarakat tidak diabaikan.
46. Kecondongan negara-negara Eropa Kontinental terhadap negara-negara Anglo- Saxon.
Mangandung lebih banyakarti pada segi personalia dari pada negara Anglo saxon yang meletakan titik berat kepada titik-titik yangbersifat teretorial.sedangkan dalam negara Eropa Kontinental  lebih mengedepankan segi personalitas dari pada hukum.
47. Teretorialitas terhadap personalitas dari pada hukum.
Menurut sistim domisili yang mengedepankan segi teretorialitas dari pada hukum, maka semua hubungan-hubungan dari pada orang-orang yang berkenaan dengan soal-soal tentang perseorangan, kekeluargaan, warisan, singkatanya : “status personil”, di tentukan oleh domisilinya. Sebaliknya menurut sistim yang dianut negara-negara Eropa kontinental, segi personalitas yang di kedepankan.
48. Masing- masing aliran mempunyai pembela-pembelanya.
Bahwa sebenarnyakepentingan-kepentingan dari negara bersangkutan masing-masinglah yang memegang peranan dalam memilih salah satu perinsip.
49. Alasan-alasan pro prinsip Kewarganegaraan.
a) prinsip ini paling cocok untuk perasaan hukum seseorang.
 kerena terlaksana adaptasi kepada perasaan hukum dari pada yang bersangkutan. Tentunya hukum nasional lebih cocok bagi warganegara bersangkutan. Dari segi kebutuhan dari warganegaraanya sendiri.
b) lebih permanen dari hukum domisili.
Katanya perinsip kewarganegaraan lebih tetap (permanen bestending duurzam”) dari pada perinsip domisili, karena kewarganegaraan tidak demikian mudah dirubah-rubah seperti domisili. Sedang status personil yang termasuk mengatur hubungan kekeluargaan memerlukan stabilitas sebanyak mungkin.
c) Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak.
Karena pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui dari pada domisili seseorang. Itulah cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan sesuatu negara.
50. Alasan-alasan pro prinsip domisili.
a. hukum domisili adalah hukum dimana yang bersangkutan sesungguhnya hidup.
Diamana seseorang sehari-harisesungguhnya hidup , sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulahyang dipakai untuk menentukan status personilnya.
b. prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili.
Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat di laksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.
c. hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim.
Diajukanya suatu perkara di hadapan hakim dari tempat tinggal para pihak atau pihak tergugat yang merupakan pegangan utama untuk menentukan kompetensi yurisdiksi hakim.
d.cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum.
Domisili satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara-negara yang struktur hukumnya tidak mengenal persatuan hukum.terdapat ketentuan-ketentuan yang mengenal kewarganegaraan-kewarganegaraan tersendiri dari negara-negara bagian masing-masing.
e. Domisili menolong dimana perinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan.
Adakalanya prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan, karena orang bersangkutan tidak kewarganegaraan (apatride) atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan (bipatride multipatrid).
f. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi dari para imigran.
Supaya dapat dipercepat proses adaptasi dan assimilasi dari orang-orang asing.tetapi setelah perang dunia kedua maka perinsip ini di tinggalkan dan orang kembali mempertahankan  prinsip nasionalitas.
51. Jalan keluar dari berbagai kesulitan.
Prinsip nasioanalitas membawa berbagai kesulitan.karena terlampau teguh di pegang dari pada nasionalitas ini.
52. Pendirian kita.
Kepentingan-kepentingan yang bersifat politis dan tradisi dari negara-negara bersangkutan memegang peranan yang penting dalam menentukan pilihan perinsip-perinsip HPI untuk status personil mereka ini.
53. Prinsip nasionalitas yang sekarang berlaku untuk RI.
Dalam pasal 16 A.B kalimat pertama ditanyakan bahwa prinsip nasionalitaslah yang di pakai dan berlaku.adanya apa yang dinamakan “ontaarding” dari pada prinsip nasionalitas karena pemakaian terlalu kaku dapat kita saksikan dengan peristiwa De Ferrari.
54. Contoh perkara De Ferrari.
Terjadinya perbedaan negara antara suami istri yang inggin bercerai . yang masing-masing negara mengutamakan hukum nasionalnya sendiri dan kepentingan warganegaranya sendiri. Inilah di cap sebagai ”juridisch chauvinisme” suatu sikap “nationale zelfgenoegzaamheid” yang tidak dapat dibenarkan.
55.Contoh-contoh dari Yurisprudensi Perancis.
Pertimbangan dari cour de cassation sebagai berikut : bahwa fakta kewarganegaraan perancis belaka tidaklah cukup untuk selalu memaksakan diberlakukanya hukum Perancis dalam perkara-perkara dimana status dari pada seseorang perempuan warganegara perancis yang dipersoalkan.
56.  Perkara-perkara lain yang mengedepankan hukum domisili.
Dipakainya hukum dari domisili bersama ini adalah sesuai dengan apa yang sudah dikemukakan oleh Kollewijn dalam tahun 1929 pada Pidato Dies Lustrum pertama Rechts Hogeschool di jakarta. Hukum domisili bersamalah yang dipakai.
57.  Perkara Bisbal.
Ketidak pastian dalam memperoleh perceraian. Jadi perceraian harus di laksanakan di tempat tinggal tergugat .
58. Perkara Boll.
Bidang hukum Kekeluargaan. Yaitu anak dan orang tua. Dalam mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan Prinsip Domisili.
59.Prinsip yang sebaiknya Untuk Indonesia.
Sebaiknya Perinsip Domisili bagi Indonesia. 1) alasan Praktis. 2) Menggunakan B.W. 3) sejalan dengan Praktek hukum dan administrasi. 4) bahan-bahan bacaan hukum asing. 5) Pluralisme Hukum. 6) negara Imigrasi. 7) asas daerah kelahiran. 8) Indonesia berada di lingkungan negara Prinsip Domisili.
60. Pendirian Kami.
Memakai Perinsip Domisili. Nasionalitas pasal 16 A.B. dan metap selama 2 tahun  dimana mereka hidup dan menetap.
BAB 1V
PENUNJUKAN KEMBALI (RENVOI)
Masalah Renvoi timbul karena adanya aneka sistem HPI. Yang masing-masing negara memilikinya sendiri-sendiri. Yang tidak seragam. Akibat dari Prinsip Nasionalitas atau perinsip Domisili timbulah masalah Revoi.
61. Hubungan dengan masalah kwalifikasi.
Hukum asing bahwa hukum intern dari negara yang bersangkutaan yang harus diberlakukan dan juga kaidah-kaidah HPInya.
62. Contoh .
1) Hukum Intern hukum antar sesama orang inggris. 2) kaidah-kaidah HPI “choice of Law” HPI inggris.
63, Istilah-istilah.
Indonesia ada Istilah Penunjukan Kembali.
64. Contoh.
Mengenai Renvoi adalah apabila untuk seseorang inggris yang inggin berdomisili di indonesia ditentukan berdasarkan  denagan dewasa atau belum, atau dia hendak menikah, atau dia harus melakukan sesuatu tindakan hukum lain berkenaan dengan status personilnya , maka menurut HPIindonesia berdasarkan pasal 16 A.B harus di pakai hukum inggris.
65.Contoh Tentang Penunjukan Lebih jauh.
Apabila memang perkawinan di anggap batal, maka hal ini akan berarti suatu ketidakadilan yang luar biasa suatu summa iniura, atau “Schweres Unrecht”.
66. Renvoi dan sifat nasional dari HPI.
HPI Bersifat Supra nasional mengoper atau yang menolak Revoi yang selalu berlaku. atau yang nasional.
67. Peristiwa “Forgo”
Warisan berlaku berdasarkan warganegaranya. Walaupun hartanya di negara lain.
68. Tidak semua penulis setuju dengan renvoi.
(I) Renvoi tidak Logis. Artinya tidak ada suatu penyelesaian karena terus menerus . hilir mudik katanya.
(II) Renvoi merupakan “Penyerahan kedaulatan legislatip” kemauan pada negara bersangkutan sendiri.
(III) Renvoi membawa ketidak pastian hukum.  Akan memperoleh kesulitan-kesulitan kalau menerima Renvoi ini. Sebaiknya di tolak.
69. Alasan-alasan Pro renvoi.
(I) Renvoi memberi keuntungan praktis. Jika diterima renvoi maka berarti hukum intern sendiri dari sang hakim yang dipergunakan dan ini suatu keuntungan praktis yang sangat berarti.
(II)  Jangan “Plus Royaliste que le roi” merupakan suatu konsensi untuk sejalan lebih dahulu.
(III) keputusan-keputusan yang berbeda. Negara yang menunjukan dan negara yang menunjuk kembali.
(IV)  Harmoni dari keputusan-keputusan. Yang mendukung revoi.
70. Penilaian Kami.
Dapat dikatakan seimbang. Karena memiliki alasan-alasan yang dapat di pertanggung jawabkan. Menurut hukum positif Revoi nyatanya dapat diterima.
71.Praktek administratif di Indonesia menerima renvoi.
Telah lama praktek administratif dinegeri ini revoi telah diterima.ketentuan seperti tercantum dalam pasal 42 dan seterusnya B.W. dipergunakan pula untuk orang Amerika, Inggris,dan Denmark. Semua negara yang menganut prinsip domisili dalam HPI mereka.
72.  Pendirian Yurisprudensi.
Secara hukum positif dapat kita melihat bahwa yurisprudensi di indonesia menerima Revoi.
(I)                Perkara orang Armenia Nasrani. Ke arah perinsip kewarganegaraaan.bahwa pada hakekatnyaditerima lembaga penunjukan kembali dalam keputusan ini.
(II)             Perkara palisemen seorang British India. Dari penunjukan HPI Indinesia ini kepada hukum British India yang juga mencakup kaidah-kaidah HPInya dan adanya penunjukan kembali dari pada hukum HPI British India ini kepada Indonesia,dimana hakim telah menerima penunjukan kembali dan memakai ketentuan intern di indonesia, menerima lembaga penunjukan kembali.
73.  Kami berpendapat bahwa penerimaan renvoi oleh hakim Indonesia, yang menghasilkan dipakainya hukum intern Indonesia, adalah sikap yang tepat dan bijaksana.
Adalah tempatnya apabila kita sendiri , jika ada kesempatan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk itu.
74. Renvoi Di Negara-negara lain.
Perancis. Menolak Revoi
Italia. Ditentang Revoi
Jerman. Penerimaan Revoi (pasal 27 EGBGB)
Swiss. Penerimaan Revoi ( pasal 28 dan 31 NAG)
Nederland. Umumya menentang walaupun menyimpang umumnya di tolak.
Negara Asia-Afrika menerima Renvoi.
Mesir. Tidak menerima Renvoi.
Negara-negara Anglo Saxon di terima.
75.Skema dari pada sistim kontinental.
X=======èY sistim Foreign court Theory.
76. Perkara in re Annesley.
Warisan menurut hukum negara asalnya Inggris hartanya di negara lain Perancis .namun anaknya waarga negara Perancis tersebut. Karena inggris menggunakan hukum domisili maka Perancislah yang ditunjuk untuk mengadili perkara ini walaupun Perancis menganut hukum negara asal.
77.Perkara In re Ross, Ross V. Waterfield.
Karena hukum Inggris menganut hukum domisili maka jika perkara ini harus diadili oleh badan peradian italia, maka surat Ros dianggap sah adanya.
78.  De Duke  of  Wellington : Glentanar v. Wellington.
Contoh ini adalah contoh pemakaian “the foreign court theoory”.
79.Renvoi di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat tidak ada peraturan tertulis tentang Revoi. (pasal 7 sub b) menurut hukum internya dan tidak kaidah-kaidah HPI-nya.
80. Negara-negara Sosialis.
Umumnya menerima Revoi ini walau ada juga yang menolaknya.
81. Perjanjian-perjanjian Internasional.
(I) Persetujuan Den Haag tentang HPI tahun 1951, 1955. Tentang mengatur perselisihan. Antara Nasionallitas dan Domisili.
(II) Persetujuan hukum Unifrom HPI negara-negara Benelux 1951.  Bahwa Revoi tidak diterima lebih ke intern.
82. Pendirian Kami.
Kami menyetujui penerimaan renvoi. Alasan praktis. Bukan juridis. Revoi diterima untuk bidang “ Personeel statut”  dan “ Real statut ”.
BAB V
KWALIFIKASI
Masalah kwalifikasi dan renvoi seringkali dibicarakan dan kedua-duanya ini merupakan bagian dari ajaran Pokok HPI.
83.istilah-istilah.
Kwalifikasi sebenarnyaadalah melakukan “translation” atau “penyalinan” dari pada fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum.
(I)                Persetujuan orangtua untuk menikah.
(II)             Masalah Penentuan locus contractus
(III)          Mengenai benda bergerak atau tidak bergerak.
84. Harta benda perkawinan aatau perwarisan.
Terkenal pula adalah perbedaan paham mengenai kwalifikasi “Hukum harta benda perkawinan” atau hukum warisan.
85. Perkara Anton V. Bartolo.
“The maltese case.” Memakai kwlifikasi Code Rohan hakim melakukan kulifikasi hukum menurut sistem yang dipilihnya.
86. Persoalan HPI tak mungkin lenyap.
Karena adanya perbedaan kwalifikasi antara berbagai sistim HPI di negara-negara di dunia ini.
87.macam-macam kwalifikasi.
a. kwalifikasi menurut lex fori (yaitu menurut hukum hakim)
b. kwalifikasi menurut lex causae (hukum yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan HPI.
c. kwalifikasi secara otonom (autonomen qualifikation. Berdasarkan “comparative method”
atau “analytical jurisprudence”.

88. Kwalifikasi menurut “ lex fori”
Harus menurut hukum materiil sang hakim. Alasan Kwalifikasi menurut “ lex fori”
1.      persoalan-persoalan HPI pada umumnya hanya dapat diselesaikan demikian rupa karena ditariknya persoalan ini kearah satu sistem hukum tertentu.
2.      Dalam prakteknya sering kali kwalifikasi menurut lex fori adalah satu-satunya yang mungkin.
Dalam yurisprudensi lex fori lah yang diutamakan.
89. Kwalifikasi menurut lex causae.
Manurut pandangan ini maka kwalifikasi dilakukan menurut sistim hukum dari mana pengertian ini berasal.
90. kwalifikasi secara otonom.
Berdasarkan perbandingan hukum. Kwalifikasi dilakukan secara otonom terlepas dari salah satu hukum tertentu.
Pengecualian-pengecualian terhadap pemakaian kwalifikasi lex fori.
a.       Kwalifikasi kewarganegaraan tidak diakukan menurut hukum dari forum hakim.
b.      Kwalifikasi mengenai “ bergerak atau tidak bergerak” sesuatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae”
c.       Kwalifikasi suatu kontrak menurut “maksud para pihak” bidang perjanjian , maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
d.      Kwalifikasi dari “ perbuatan melanggar hukum”
e.       Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaaidah HPI.
f.       Kwalifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku.
91. Kwalifikasi Primer dan sekunder.
(1). Secara Primer adalah kwalifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan.
(2). Secara Sekunder apabila sudah diketahui hukum asing manakah yang harus dipergunakan . maka perlu dilakukan kwalifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang di kemukakan itu.
92. Pendapat kami.
Pendapat kami adalah untuk menggabungkan diri pada aliran yang terbanyak dianut, yaitu memilih kwalifikasi menurut lex fori. Kami sependapat bahwa masalah-masalah HPI tidak akan mungkin lenyap.















DAFTAR  PUSTAKA
Gautama, 1987,Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung, Binacipta Bandung.




Jumat, 11 Oktober 2013

Pengertian Hukum Acara Perdata



  1. Pengertian Hukum Acara Perdata
  1. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
  2. R. Subekti, berpendapat hukum acara  itu mengabdi kepada hukum materiel, maka dengan sendirinya setiap perkembangan dalam hukum materiel itu sebaiknya  selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.
  3. MH. Tirtaamidjaja Hukum Acara Perdata adalah suatu akibat yang timbul dari hukum perdata materiel.
  4. Soepomo, dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.
  5. Sudikno mertokusumo, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Konkretnya: hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.
Hukum acara perdata adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dalam praktik. Oleh karena itu, bagi orang yang merasa hak perdatanya dilanggar, tidak boleh diselesaikan dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), tapi ia dapat menyampaikan perkaranya ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan tuntutan hak (gugatan) terhadap pihak yang dianggap merugikannya, agar memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”. Tuntutan hak ini dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1)      Permohonan
Permohonan adalah tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, dimana hanya terdapat satu pihak saja, yang disebut dengan pemohon. Permohonan termasuk dalam lingkup peradilan  volunteer (voluntaire jurisdictie) atau peradilan tidak sesungguhnya. Ciri khas dari permohonan adalah bersifat reflektif, yaitu hanya demi kepentingan pihaknya sendiri tanpa melibatkan pihak lain.
2)      Gugatan
Gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung  sengketa dimana sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Gugatan termasuk dalam lingkup peradilan sesungguhnya. Ciri  khas dari gugatan adalah bersifat resiproksitif (terjadi secara berbalasan), berhubung tergugat kemungkinan besar akan membalas kembali gugatan dari penggugat.         


Hukum Acara Perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu :
a.   Tahap Pendahuluan ; tahap persiapan menuju pada penentuan atau pelaksanaan
b.  Tahap Penentuan; tahap diadakannya pemiriksaan dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusan.
c.   Tahap Pelaksanaan; tahap dialksanakannya suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti ( In krag van gewisjd )   
  1. Sumber Hukum Acara Perdata
A.    Undang-Undang
1.      UU Darurat No. 1 tahun 1951
Berdasar UU ini maka hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia di bedakan menjadi 2 :
a.       Untuk Jawa dan Madura berlaku HIR ( Het Herziene Indonesisch Reglement / Reglemen Indonesia yang diperbaharui ; Stb 1848 No 16, Stb. 1941 No. 44).
b.      Untuk luar Jawa dan Madura berlaku Rbg ( Rechtsreglement Buitengewesten / Reglemen daerah seberang Stb. 1927 No. 27)
2.      Reglement op de Burgerlijke Rechvordering ( Rv) Stadblad No 52, Stb. 1849 No. 63.
Rv ini sebenarnya merupakan ketentuan hukum acara perdata untuk golongan eropa. Menurut Supomo, dengan dihapuskannya Raad Justitie dan Hooggerechtshof , maka Rv menjadi sudah tidak berlaku lagi di Indonesia.
Pemberlakuan Rv di dalam acara perdata di pengadilan negeri sampai dengan saat sekarang ini pada dasarnya karena praktek masah membutuhkan dan belum ada aturan hukum yang mengaturnya seperti ; aturan yang mengatur mengenai Isi suatau Gugatan/Permohonan, beracara dengan tiga pihak dll  
3.      Buku Ke IV KUHPerdata (BW) tentang Pembuktian dan Kadaluarsa.
4.      UU No. 14 tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehaklman).
5.      UU. No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya PP No. 9 tahun 1975, PP 10 tahun 1980 dan PP no. 45 tahun 1982
6.      UU. No. 14 tahun 1985 tentang MA
7.      UU. No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum
8.      UU. No. 5 tahun 1985 tentang PTUN
9.      UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
10.  UU tentang Kepailitan, UU.tentang HKI , UU ttg Arbritrase dan UU lainya yang didalamnya memuat tentang ketentuan beracara perdata.
B.     Yurisprodensi
Yurisprodensie yaitu putusan-putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Yurisprodentie merupakan sumber hukum yang hidup ( the living law) yang harus menjadi perhatian yang cukup bagi para penegak hukum.
Di Indonesia ajaran yang dianut berkaiatan dengan yurisprodensi ini adalah lebih bersifat The persuasive force of law ( hakim tidak terikat pada putusan hakim yang terdahulu untuk suatu perkara yang sama dan sejenis), ini berbeda dengan Negara anglo saxon dimana hakim sangat terikat pada putuisan hakim yang terdahulu untuk perkara yang sama dan sejenis ( The binding force of law)
C.     Kebiasaan
Yaitu adat kebiasaan yang selalu dilakukan oleh para hakim di dalam melakukan pemeriksaan perkara yang biasanya bersifat tidak tertulis.
D.    Traktat / Perjanjian International
Yaitu perjanjian yang dibuat oleh pemerintah RI dengan negara lain yang didalamnya memuat kerjasama dibidang peradilan.
E.     Doktrin/ Ajaran Ilmu Pengetahuan
Doktrin sebenarnya bukanlah hukum, namun dapat digunakan oleh hakim dalam menggali dan menemukan hukumnya khususnya apabila aturan hukumnya tidak jelas dan atau belum ada.
  1. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
A.    Asas Hakim bersifat Menunggu
B.     Asas Hakim Pasif
C.     Asas Obyektifitas Peradilan
1.      Asas terbukanya persidangan
2.      Asas mendengar kedua belah pihak
3.      Asas putusan harus disertai Alasan-alasan
4.      Asas bebas dari campur tacngan pihak-pihak diluar kekuasaan kehakiman
5.      Asas adanya hak ingkar
6.      Asas pemeriksaan dilakukan dalam dua tingkat
7.      Asas Demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
8.      Asas Susunan Persidangan Majelis.
D.    Asas beracara dikenakan biaya
E.     Asas tidak ada keharusan mewakilkan
F.      Asas MA puncak dari Peradilan
G.    Asas sederhana, cepat dan biaya ringan

Popular Posts

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.